kajian.konstitusi

kajian konstitusi merupakan kompilasi pemikiran ketatanegaraan dan konstitusi mutakhir yang disusun secara dialogis antara penulis dan pembaca yang berminat pada kajian hukum, konstitusi dan ketatanegaraan disajikan bagi para pengamat hukum ketatanegaraan di Indonesia, khususnya bagi para pengamat konstitusi, politik, filsafat hukum, aspek ekonomi, sosial dan budaya konstitusi di Indonesia

Nama:
Lokasi: Bekasi, jawa barat, Indonesia

pengamat muda kajian konstitusi dan hukum tata negara, menjabat sebagai anggota komisi konstitusi, dosen pada universitas pancasila dan beberapa perguruan tinggi di indonesia sekarang giat memprakarsai budaya berkonstitusi(constitutional culture) dalam Lembaga Kajian Konstitusi sebagai Sekretaris

Selasa, 09 September 2008

Secara Hukum, UUD ’45 Asli Masih Berlaku

Wawancara Moh Isnaeni Ramdhan
Secara Hukum, UUD ’45 Asli Masih Berlaku



JAKARTA-Mantan anggota Komisi Konstitusi, Mohamamd Isnaeni Ramdhan, yang menjadi salah satu narasumber diskusi, tetap berpendirian bahwa prosedur perubahan UUD’45 keliru. Berikut petikan wawancara wartawan SH, Daniel Duka Tagukawi, seusai diskusi.

Bisa dijelaskan alasan penolakan terhadap hasil perubahan UUD 1945?
Kita bicara dari prosedur perundangan dulu, ya. Dari sisi ini saja, sebenarnya MPR tidak melakukan hal itu. Sesuai asas hukum, setiap produk hukum itu memiliki kekuatan mengikat atau dianggap sudah diketahui masyarakat, kalau sudah diundangkan dalam lembaran negara. Ini tidak dilakukan MPR. Secara teori hukum, perubahan UUD 1945 itu tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Bukankah lembaran negara itu hanya pengumuman kepada publik?
Iya. Itu juga disampaikan Pak Hamdan Zoelva. Tapi, itu saya kira keliru, karena suatu produk hukum memiliki kekuatan mengikat atau tidak tergantung apakah diundangkan dalam lembaran negara atau tidak. UUD 1945 itu ada dalam Lembaran Negara No 75 tahun 1959. Jadi, harus diundangkan dalam lembaran negara. Secara teoretis, publik dianggap mengetahui kalau sudah diundangkan. Kalau tidak diundangkan berarti tidak mengikat, kan?

Tapi, kenyataannya hasil perubahan UUD 1945 itu tetap berlaku?
Memang secara politik, hasil perubahan itu sudah diberlakukan, misalnya, dengan adanya pemilihan presiden secara langsung. Itu secara politik. Tapi, kalau dari aspek yuridis, hasil perubahan itu tidak mengikat, karena prosedurnya sudah tidak benar. Secara hukum, UUD 1945 asli masih tetap berlaku.

Maksudnya, baik UUD 1945 maupun perubahannya juga berlaku?
Saya hanya lihat dari aspek yuridis, di mana UUD 1945 itu masih tetap berlaku. MPR tidak pernah mencabut atau membatalkan UUD 1945. Begitu juga, MPR tidak pernah memberlakukan hasil perubahan UUD 1945.
Karena UUD 1945 yang diundangkan dalam lembaran negara, UUD 1945 yang berlaku. Meski ada ketentuan dalam UU No 10 tahun 2004, kalau UUD tidak perlu diundangkan, tapi itu menyalahi asas hukum.

Seandainya prosedur dilakukan secara benar, apakah Anda menerima hasil perubahan?
Begini ya, sekarang ini, ada UUD 1945 yang sah secara yuridis dan ada UUD yang diberlakukan karena mendapat dukungan politik. Kalau saya, ya, kembali saja dulu ke UUD 1945, karena itu yang sah. n



Copyright © Sinar Harapan 2003 dimuat pada laporan khusus 11 september 2006

Label:

Hari Konstitusi Indonesia

Oleh Mochamad Isnaeni Ramdhan

Jumat, 15 Agustus 2008

Menjelang 17 Agustus, setiap tahun, bangsa Indonesia senantiasa memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sedangkan tanggal 18 Agustus belum dimaknai secara proporsional. Padahal menurut Montevideo Convention, suatu negara dapat diakui jika memenuhi syarat adanya wilayah, adanya penduduk, adanya pemerintahan yang berdaulat, dan adanya pengakuan internasional, baik secara hukum (de jure) maupun secara faktual (de facto).

Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia baru memiliki satu syarat sebagai suatu negara, yakni adanya penduduk. Sedangkan syarat kedua berupa wilayah (penetapan delapan provinsi) serta syarat ketiga berupa adanya pemerintahan yang berdaulat (dalam personifikasi presiden dan wakil presiden serta pembentukan kementerian) baru terwujud setelah tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam pada itu, kemerdekaan bangsa Indonesia harus dikaitkan dengan terumuskannya suatu hukum dasar yang menjadi landasan hidup negara dalam bentuk penetapan Undang-Undang Dasar (UUD) dalam rapat paripurna Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). UUD atau konstitusi menjadi bagian penting dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, karena melalui konstitusilah falsafah bangsa, cita-cita bangsa, serta tujuan kemerdekaan dapat diselenggarakan dengan sempurna.

Konstitusi merupakan akta kelahiran bagi suatu bangsa, sehingga kaitan konstitusi bagi suatu negara amat erat. Tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki konstitusi. Dalam konstitusi juga terdapat berbagai dokumen hukum, politik, dan ekonomi yang diharapkan mampu menjadi pedoman bagi suatu negara untuk menata dirinya.

Konstitusi juga berisi tentang aturan main antarberbagai pusat kekuasaan sehingga terdapat kepastian bagi terselenggaranya pemerintahan yang efektif dan demokratis.

Secara etimologi istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituir, yang berarti membentuk. Sedangkan menurut bahasa Inggris, constitution, berawal dari kata dasar constitute yang berasal dari bahasa Latin constituo; constitutum-con, and statuo, to set, statue; statute]. To settle, fix, or enact; to establish, to form or compose, to make up; to make a thing what it is; to appoint, depute, or elect to an office or employment; to make and empower (menetapkan, memastikan, mengundangkan, mendirikan, membentuk, membenahi, membuat sesuatu, menunjukkan, mewakilkan, atau memilih seorang pejabat atau mempekerjakan, memberikan kekuasaan). Sedangkan yang dimaksud dengan "constitution adalah the system of fundamental principles according to which a nation, state, corporation, etc. is governed; the document embodying these principles (sistem prinsip-prinsip mendasar yang mengatur suatu bangsa, negara, dan perkumpulan; sebuah dokumen yang berisi prinsip-prinsip mendasar).

Constitution juga dapat berarti the fundamental law of the state, containing the principles upon which government is founded, regulating the division of the sovereign powers and directing to what persons each of these powers is to be exercised" (hukum dasar dari suatu negara yang berisi prinsip-prinsip sebuah pemerintahan dibentuk, pengaturan pembagian kekuasaan, dan pedoman pengujian terhadap kekuasaan-kekuasaan tersebut).

Dikaitkan dengan berbagai definisi tersebut, dapat dipahami jika sebuah konstitusi ada sebelum sebuah negara terbentuk. Konstitusi memiliki fungsi menetapkan aturan-aturan dasar yang harus dipatuhi oleh pemerintah dan warga negara pada suatu negara.

Dengan demikian, peran konstitusi bagi suatu negara sangat penting bagi terselenggaranya kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan efektif. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 Negara Republik Indonesia merupakan konstitusi yang pertama dan ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pada perkembangan selanjutnya, Indonesia mengalami pergantian konstitusi, sejak 1949-1950 dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan sejak 1950-1959 dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, serta Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali pada tanggal 5 Juli 1959 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959.

Dan, sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 dilakukan perubahan UUD 1945 secara periodik melalui Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002).

Selanjutnya dengan mengamati dinamika konstitusi tersebut, meskipun telah dilakukan empat kali penggantian konstitusi, namun satu hal yang permanen dalam konstitusi tersebut adalah bahwa nilai-nilai Pancasila tetap diterapkan sebagai pembukaan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa nilai-nilai tersebut merupakan kesepakatan nasional bangsa Indonesia dalam menata kehidupan ketatanegaraannya.

Dengan demikian, Pancasila masih tetap diajukan sebagai nilai-nilai yang mutlak untuk pedoman bagi pengaturan lebih lanjut dalam pasal-pasal konstitusi. Hal ini pula yang harus menjadi perhatian segenap komponen bangsa dalam menata kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

Pada saat ini, bangsa Indonesia mulai mempersoalkan adanya perbaikan terhadap kehidupan ketatanegaraan. Dalam hal ini diperlukan kajian secara komprehensif berdasarkan perspektif konstitusional, di samping mulai memudarnya kesadaran budaya berkonstitusi (constitutional culture).

Oleh karena itu, sebagai salah satu bentuk upaya penegakan budaya berkonstitusi sekaligus bentuk penghargaan atas jasa para perumus undang-undang dasar, tepat kiranya jika setiap tanggal 18 Agustus, kita peringati sebagai Hari Konstitusi Indonesia.***

Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Pancasila, Sekretaris Lembaga Kajian Konstitusi.

Label:

Yogyakarta Layak Disebut Kota Republik

SUARA PEMBARUAN DAILY 5/9/2008
________________________________________

Oleh Mochamad Isnaeni Ramdhan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU DIY) kembali mencuat setelah penolakan salah se- orang anggota DPRD DIY terkait dinafikannya keberadaan Pakualaman sebagai salah satu komponen keistimewaan Yogyakarta. Bahkan, dalam pernyataannya, anggota dewan tersebut menyatakan, RUU DIY yang sedang diajukan di DPR bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. (SP, 3/9/2008)
Pertanyaan menarik untuk dikaji, masih sajakah ada komponen bangsa Indonesia menyangsikan keistimewaan Yogyakarta? Apakah yang dituntut dari predikat keistimewaan Yogyakarta hanya sebatas pada rasa tidak puas atas perlakuan istimewa terhadap Nanggroe Aceh Darussalam dan Otonomi Khusus Papua?
Jika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut ternyata mendukung keistimewaan Yogyakarta, maka perjuangan masyarakat Yogyakarta untuk memperoleh keistimewaan hanya bersifat insidental dan tidak signifikan bagi peran Yogyakarta pada penegakan nilai-nilai kesatuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta perjuangan demokrasi dan reformasi.
Keistimewaan Yogyakarta karena para pejabat dan masyarakatnya sejak awal kemerdekaan telah meleburkan diri dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Bahkan ketika para pemimpin daerah sangsi mendukung upaya reformasi, yang ditandai dengan tuntutan agar Soeharto lengser, pada 20 Mei 1998 Sri Sultan Hamengku Buwono X bersama KGPAA Paku Alam VIII mendukung sepenuhnya upaya reformasi ter- sebut.
Deklarasi tersebut sangat signifikan bagi komunitas Jawa yang menjunjung tinggi sabda ratu, karena melalui deklarasi tersebut hapus kesangsian sebagian masyarakat Jawa untuk mendukung atau menolak reformasi.Tak lupa dalam deklarasi tersebut kedua penguasa Jawa tersebut merujuk betapa Yogyakarta tetap mendukung keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 5 September 1945.
Deklarasi 5 September 1945 pada dasarnya merupakan bentuk peleburan jiwa dan semangat penguasa (jagad gedhe) pada kehendak kaulo alit (jagad kecil) yang menginginkan persatuan antara Kerajaan Mangkunegaran dan Kerajaan Paku Alaman dalam pelukan Republik Indonesia. Deklarasi yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII merupakan bukti yang tidak terbantahkan bahwa Yogyakarta sejak awal bersedia menjadi bagian (baca: daerah istimewa) dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menjadi Ibu Kota
Pernyataan tersebut juga tidak hanya dalam bentuk pernyataan "di atas kertas", karena dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, masyarakat Yogyakarta kembali membuktikan kecintaannya pada Republik Indonesia, karena Yogyakarta berhasil menjadi ibu kota Negara Republik Indonesia pada saat berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950). Bahkan Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan bukti Yogyakarta menolak bentuk negara federalis.
Berbagai alasan historis dan keinginan masyarakat Yogyakarta untuk tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak mengganggu sistem hukum nasional Indonesia, sehingga keistimewaan Yogyakarta sangat berbeda dari "Nanggroe Aceh Darussalam" dan "Otonomi Khusus Papua."
Tuntutan keistimewaan Yogyakarta tidak harus menjadi polemik, ketika Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dibaca secara cermat, bahwa "gubernur, bupati dan wali kota sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis" tidak secara sertamerta mengharuskan pemilihan kepala daerah diselenggarakan melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (Penelitian dan Kompendium BPHN tentang Pemilihan Kepala Daerah, 2007).
Di sinilah keistimewaan Yogyakarta harus dipertahankan, mengingat bukti-bukti sejarah, pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta tidak harus melalui pemilihan umum secara langsung. Meskipun pengisian jabatan tersebut diselenggarakan secara perwakilan (kerabat sultan) bukan berarti Yogyakarta menyelenggarakan sistem kerajaan dalam Republik Indonesia.
Bahwa Yogyakarta bukan milik Keluarga Sultan dan Pakualam, Yogyakarta juga bukan hanya milik kalangan keraton dan sebagian masyarakat Yogyakarta. Jasa masyarakat dan pemimpin Yogyakarta pada sejarah bangsa Indonesia dan tegaknya reformasi layak dihargai dengan mencanangkan Yogyakarta sebagai Kota Republik, tepatnya pada 5 September.
Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Pancasila
________________________________________
Last modified: 5/9/08

Label:

Minggu, 07 September 2008

Memaknai Hari Konstitusi Indonesia

Pencanangan Hari Konstitusi Indonesia oleh segenap komponen bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 2008 di Ruang GBHN Gedung Nusantara V yang ditandai dengan penandatanganan Deklarasi Tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi Indonesia secara simbolik oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketua Dewan Perwakilan Daerah, dan Ketua Lembaga Kajian Konstitusi, serta dikuti oleh para pimpinan dan anggota lembaga-negara serta para insan konstitusi menunjukkan kebulatan tekad para pemimpin bangsa untuk menjungjung tinggi konstitusi dan demokrasi di Indonesia.

Semula bangsa Indonesia hanya memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus, namun mulai sekarang melalui pencanangan tersebut, kita memperingati tonggak sejarah saat para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menyepakati secara aklamasi pedoman dan dasar bangsa Indonesia menata kehidupan ketatanegaraan Indonesia diawali dengan penetapan Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memiliki arti penting bagi terumuskannya pasal-pasal dalam undang-undang dasar, sehingga setelah pembukaan ditetapkan, selanjutnya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membahas dan menetapkan Pasal 1 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Tiba pada bagian Aturan Peralihan, Sukarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, meminta agar disahkan dulu Pasal III Aturan Peralihan, bahwa “Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” dan sebelum kertas suara dibagikan kepada seluruh anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Oto Iskandardinata sebagai salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengajukan agar pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan dengan cara aklamasi. Dan sebagaimana banyak dimuat dalam catatan sejarah, pemilihan Sukarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia serta Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia dilakukan secara aklamasi.

Beranjak dari paparan tersebut, nampak pada kita, bahwa para Perumus Undang-Undang Dasar 1945 mengutamakan asas musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan putusan-putusan penting. Bahwa asas ini seharusnya menjadi keutaman bagi bangsa Indonesia dalam merumuskan kebijakan-kebijakan nasional demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi bangsa Indonesia.

Menurut madzhab Originalist Theories yang meyakini, bahwa: “… constitutions are often thought of as contracts or bargains, reflecting a particular distribution of bargaining power among social entities that may alter (resulting in pressure for renegotiation) over time (Konstitusi acapkali dianggap sebagai perjanjian atau kesepakatan yang mencerminkan pembagian kekuasaan tertentu antarlembaga-lembaga sosial yang dapat dikaji (jika terjadi desakan bagi kesepakatan ulang), sehingga Konstitusi Indonesia juga merupakan kesepakatan segenap komponen bangsa yang dirumuskan sebagai dokumen filosofis, hukum, politik, ekonomi dan sosial budaya yang menjadi pedoman bagi suatu negara menata dirinya.

Terkait dengan ajaran tersebut, nilai-nilai dalam Pembukaan menjadi sumber pengaturan serta sebagai “bintang pemandu” (guiding star) lebih lanjut dalam konstitusi serta peraturan perundang-undangan di Indonesia. Bahwa seluruh peraturan perundang-undangan baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seharusnya mengacu pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berikut pasal-pasal dalam konstitusi dan menjadi pedoman utama bagi perumusan norma-norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Inilah makna kita ajukan tanggal 18 Agustus sebagai Hari Konstitusi Indonesia di samping sebagai sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa dan penghormatan pada jasa para Perumus Undang-Undang Dasar 1945, serta sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban moral demi mewujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang menjunjung tinggi konstitusi, serta berbudaya konstitusi (constitutional culture).



Jakarta, 18 Agustus 2008

Label:

Kajian Komprehensif Menuju Perubahan Kelima UUD 1945

Masyarakat kembali giat membicarakan konstitusi setelah pemberitaan tentang perlunya amandemen konstitusi dilakukan. Bahkan pada tanggal 18 Agustus yang lalu masyarakat kembali diingatkan pentingnya nilai-nilai Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan dikonkritkan dalam pasal-pasal konstitusi saat Hari Konstitusi Indonesia dideklarasikan oleh para petinggi negeri.

Selang beberapa saat kemudian, Presiden Republik Indonesia menyatakan agar Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia mencerna dan menelaah perlunya pembentukan panitia atau komisi yang menyelidiki sistem ketatanegaraan di Indonesia. Maka gerbang pengkajian masalah-masalah hukum tata negara kembali terbuka lebar untuk diselenggarakan oleh berbagai komponen bangsa. Selama ini pihak perguruan tinggi saja yang giat mengkaji ketatanegaraan di Indonesia –khususnya akademisi yang keseharian menyelidiki hukum tata negara- namun sekarang akademisi disiplin ilmu lain pun ikut tertarik mengkaji masalah hukum tata negara di Indonesia.

Persoalan mendasar yang harus segera dirumuskan yakni yang dimaksud dengan “kajian komprehensif” sebagaimana seringkali dilontarkan oleh petinggi kita. Bahkan oleh para Lembaga Swadaya Masyarakat yang seringkali mengajukan kritik terhadap rumusan konstitusi. Apakah semua pasal yang harus diubah ataukah semua aspek konstitusi harus dikaji pengubahannya? Persoalan ini pula yang meruncing saat Komisi Konstitusi menyelenggarakan kajiannya dan hingga usai “masa tayang”nya belum mencapai kesepakatan tentang yang dimaksud dengan kajian komprehensif.

Dalam tulisan ini diajukan pengertian “kajian komprehensif” dalam rangka penyelidikan konstitusi. Secara sederhana “kajian komprehensif” merupakan kajian yang menyeluruh terkait dengan berbagai pendekatan secara sistemik yang melatar-belakangi terumuskannya konstitusi. Pendekatan-pendekatan tersebut seperti pendekatan filosofi, pendekatan sejarah, pendekatan hukum, politik, ekonomi dan budaya.

Yang dimaksud dengan pendekatan filosofi menyangkut ideologi yang menjadi dasar berpijak bangsa Indonesia menata dirinya, bagi kita, Pancasila merupakan grand design penataan ketatanegaraan Indonesia, sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan sejarah menyangkut berbagai peristiwa yang signifikan pada saat dirumuskannya konstitusi tersebut, pendekatan hukum dan politik sangat erat dengan cara pembagian tugas dan kewenangan lembaga-lembaga negara, selanjutnya pendekatan ekonomi dan budaya terkait dengan penataan bangsa menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rangka merumuskan kajian komprehensif tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan pendekatan perbandingan dengan negara-negara yang –paling sedikit- memiliki kesamaan dengan struktur ketatanegaraan dengan negara lain. Perbandingan dimaksud bukan untuk diambil alih dan diterapkan pada konstitusi Indonesia, melainkan untuk dipilih unsur-unsur keunggulan seraya membuang kelemahannya. Selanjutnya perbandingan tersebut juga harus merujuk pada pendekatan-pendekatan lain sebagai rujukan utama, sehingga perbandingan hanya merupakan pendekatan penunjang saja.

Jika Indonesia akan dibandingkan dengan Amerika Serikat dalam hal pembuatan undang-undang, harus pula diingat keunggulan asas pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif bahwa kehendak rakyat merupakan unsur tertinggi dalam pelaksanaan pemerintahan oleh eksekutif, sedangkan kelemahannya kehendak rakyat sarat dengan kepentingan sesaat, sehingga tidak terdapat kesinambungan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan.

Oleh karena itu, Abraham Lincoln menyatakan tidak mungkin urusan rakyat diserahkan pada orang banyak juga James Q Wilson dalam bukunya yang berjudul “Does the Separation Powers Still Works?” mengecam dan membuktikan bahwa asas “separation of powers” tidak mungkin diterapkan secara hakiki. Padahal 63 tahun yang lampau, tepatnya pada tanggal 11 Juli 1945, Bung Karno dengan tegas menyatakan bahwa “separation of powers” sebagai pelaksaaan dari Trias Politica sudah kolot.

Pendekatan perbandingan, harus dilakukan secara cermat dan utuh, jika pengambilalihan sistem ketatanegaraan asing menjadi “bumerang” bagi bangsa Indonesia karena tidak sesuai dengan budaya bangsa, ketentuan tersebut harus dikaji ulang. Pengaturan ketatanegaraan memiliki ciri nasionalistik, sebagaimana diajukan T. Koopmans, bahwa “staatsrecht is het nationaal getint” sehingga kita tidak bisa asal menjiplak sistem ketatanegaraan asing untuk diterapkan di Indonesia.

Terkuaknya gerbang pengkajian sistem ketatanegaraan merupakan titik awal bangsa Indonesia menyadari betapa penting dilakukannya penataan konstitusi secara arif dan mendalam sehingga keberlakuan konstitusi tidak semata demi kepentingan sesaat, sehingga konstitusi juga menghimpun kehendak menata diri bagi kepentingan masa yang akan datang (futuristik)

(Dimuat dalam Koran Media Indonesia, Kamis 04 September 2008 dengan judul Kajian Komrehensif UUD 1945)

Label: