Kajian Komprehensif Menuju Perubahan Kelima UUD 1945
Selang beberapa saat kemudian, Presiden Republik Indonesia menyatakan agar Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia mencerna dan menelaah perlunya pembentukan panitia atau komisi yang menyelidiki sistem ketatanegaraan di Indonesia. Maka gerbang pengkajian masalah-masalah hukum tata negara kembali terbuka lebar untuk diselenggarakan oleh berbagai komponen bangsa. Selama ini pihak perguruan tinggi saja yang giat mengkaji ketatanegaraan di Indonesia –khususnya akademisi yang keseharian menyelidiki hukum tata negara- namun sekarang akademisi disiplin ilmu lain pun ikut tertarik mengkaji masalah hukum tata negara di Indonesia.
Persoalan mendasar yang harus segera dirumuskan yakni yang dimaksud dengan “kajian komprehensif” sebagaimana seringkali dilontarkan oleh petinggi kita. Bahkan oleh para Lembaga Swadaya Masyarakat yang seringkali mengajukan kritik terhadap rumusan konstitusi. Apakah semua pasal yang harus diubah ataukah semua aspek konstitusi harus dikaji pengubahannya? Persoalan ini pula yang meruncing saat Komisi Konstitusi menyelenggarakan kajiannya dan hingga usai “masa tayang”nya belum mencapai kesepakatan tentang yang dimaksud dengan kajian komprehensif.
Dalam tulisan ini diajukan pengertian “kajian komprehensif” dalam rangka penyelidikan konstitusi. Secara sederhana “kajian komprehensif” merupakan kajian yang menyeluruh terkait dengan berbagai pendekatan secara sistemik yang melatar-belakangi terumuskannya konstitusi. Pendekatan-pendekatan tersebut seperti pendekatan filosofi, pendekatan sejarah, pendekatan hukum, politik, ekonomi dan budaya.
Yang dimaksud dengan pendekatan filosofi menyangkut ideologi yang menjadi dasar berpijak bangsa Indonesia menata dirinya, bagi kita, Pancasila merupakan grand design penataan ketatanegaraan Indonesia, sedangkan yang dimaksud dengan pendekatan sejarah menyangkut berbagai peristiwa yang signifikan pada saat dirumuskannya konstitusi tersebut, pendekatan hukum dan politik sangat erat dengan cara pembagian tugas dan kewenangan lembaga-lembaga negara, selanjutnya pendekatan ekonomi dan budaya terkait dengan penataan bangsa menuju kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka merumuskan kajian komprehensif tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan pendekatan perbandingan dengan negara-negara yang –paling sedikit- memiliki kesamaan dengan struktur ketatanegaraan dengan negara lain. Perbandingan dimaksud bukan untuk diambil alih dan diterapkan pada konstitusi Indonesia, melainkan untuk dipilih unsur-unsur keunggulan seraya membuang kelemahannya. Selanjutnya perbandingan tersebut juga harus merujuk pada pendekatan-pendekatan lain sebagai rujukan utama, sehingga perbandingan hanya merupakan pendekatan penunjang saja.
Jika Indonesia akan dibandingkan dengan Amerika Serikat dalam hal pembuatan undang-undang, harus pula diingat keunggulan asas pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif bahwa kehendak rakyat merupakan unsur tertinggi dalam pelaksanaan pemerintahan oleh eksekutif, sedangkan kelemahannya kehendak rakyat sarat dengan kepentingan sesaat, sehingga tidak terdapat kesinambungan dalam penyelenggaraan ketatanegaraan.
Oleh karena itu, Abraham Lincoln menyatakan tidak mungkin urusan rakyat diserahkan pada orang banyak juga James Q Wilson dalam bukunya yang berjudul “Does the Separation Powers Still Works?” mengecam dan membuktikan bahwa asas “separation of powers” tidak mungkin diterapkan secara hakiki. Padahal 63 tahun yang lampau, tepatnya pada tanggal 11 Juli 1945, Bung Karno dengan tegas menyatakan bahwa “separation of powers” sebagai pelaksaaan dari Trias Politica sudah kolot.
Pendekatan perbandingan, harus dilakukan secara cermat dan utuh, jika pengambilalihan sistem ketatanegaraan asing menjadi “bumerang” bagi bangsa Indonesia karena tidak sesuai dengan budaya bangsa, ketentuan tersebut harus dikaji ulang. Pengaturan ketatanegaraan memiliki ciri nasionalistik, sebagaimana diajukan T. Koopmans, bahwa “staatsrecht is het nationaal getint” sehingga kita tidak bisa asal menjiplak sistem ketatanegaraan asing untuk diterapkan di Indonesia.
Terkuaknya gerbang pengkajian sistem ketatanegaraan merupakan titik awal bangsa Indonesia menyadari betapa penting dilakukannya penataan konstitusi secara arif dan mendalam sehingga keberlakuan konstitusi tidak semata demi kepentingan sesaat, sehingga konstitusi juga menghimpun kehendak menata diri bagi kepentingan masa yang akan datang (futuristik)
(Dimuat dalam Koran Media Indonesia, Kamis 04 September 2008 dengan judul Kajian Komrehensif UUD 1945)
Label: artikel
1 Komentar:
pak tgs yg bpak suruh cari mengenai "tanggung jawab sosial dan ling kungan dalam persepektif pancasila" die jurnal legislasi volume 6 tdk ketemu pak.....,tolong die berikan arahannya lewat e-mail saya ardydut@gmail.com
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda